Modernisasi atau
westernisasi adalah upaya-upaya untuk menggantikan barang, budaya, dan sesuatu
yang tradisional agar menjadi lebih baik (efisien dan efektif). Modernisasi
erat kaitannya dengan pembangunan. Dari Marzali (2005:47) ....ada sebuah teori moderinsasi yaitu sebuah usaha
pembangunan institusional (perekayasaan struktur sosial melalui pembentukan
institusi-institusi baru) dan pembangunan mentalitas manusia (perekayasaan
kultura).... Bahasan pembangunan di Indonesia berdampak pada masyarakat
Indonesia itu sendiri. Menurut Mochtar Lubis manusia Indonesia memiliki enam
ciri-ciri yaitu, pertama mereka hipokritis atau munafik; kedua segan dan enggan
bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikirannya, dan
sebagainya; ketiga jiwa feodalisme, yang terwujud dalam perilaku feodalisme; keempat
percaya pada takhayul; kelima artisitik; dan keenam watak yang lemah. Dari
keenam ciri-ciri yang disebutkan oleh Mochtar Lubis tadi, terlihat rata-rata
manusia Indonesia belum siap menghadapi modernisasi itu sendiri. Dikarenakan
arus modernisasi yang menuntut kecepatan bertindak, watak yang kuat dan daya
tahan tinggi terhadap pekerjaan yang digelutinya.
Perceraian
adalah suatu pemutusan hubungan perkawinan antara dua orang suami-istri baik
secara hukum maupun agama.
....Menurut William J. Goode (2007:184) kekacauan
keluarga dapat diartikan sebagai “pecahnya suatu unit keluarga, terputusnya
atau retaknya struktur peran sosial jika satu atau beberapa anggota gagal
menjalanka peran mereka secukupnya.” Menurut definisi ini (Goode, 1961:370)
maka macam utama kekacauan keluarga adalah sebagai berikut :
a. Ketidaksahan.
Ini merupakan unit keluarga yang tak lengkap. Dapat dianggap sama dengan
bentuk-bentuk kegagalan peran lainnya dalam keluarga, karena sang “ayah-suami”
tidak ada dan karenanya tidak menjalankan tugasnya seperti apa yang ditentukan
oleh masyarakat atau oleh sang ibu. Tambahan pula, setidak-tidaknya ada satu
sumber ketidaksahan dalam kegagalan anggota-anggota keluarga baik ibu maupun
bapak untuk menjalankan kewajiban peranannya.
b. Pembatalan,
perpisahan, perceraian, dan meninggalkan. Terputusnya keluarga di sini
disebabkan karena salah satu atau kedua pasangan itu memutuskan untuk saling
meninggalkan, dan dengan demikian berhenti melaksanakan kewajiban peranannya.
c. “Keluarga
selaput kosong“. Di sini anggota-anggota keluarga tetap tinggal bersama tetapi
tidak saling menyapa atau bekerjasama satu dengan yang lain dan terutama gagal memberikan
dukungan emosional satu kepada yang lain.
d. Ketiadaan
seorang dari pasangan karena hal yang tidak diinginkan. Beberapa keluarga
terpecah karena sang suami atau istri telah meninggal, dipenjarakan, atau
terpisah dari keluarga karena peperangan, depresi atau malapetaka yang lain.
e. Kegagalan
peran penting yang “tak diinginkan”. Malapetaka dalam keluarga mungkin mencakup
penyakit mental, emosional, atau badaniah yang parah. Seorang anak mungkin
terbelakang mentalnya atau seorang anak atau seorang suami atau seorang istri
mungkin menderita penyakit jiwa. Penyakit yang parah dan terus menerus juga
menyebabkan kegagalan dalam menjalanka peran utama. ....
Perceraian masuk
menjadi salah satu dari yang dijabarkan oleh William J. Goode tadi. Dan secara
awam kita bisa menyimpulkan bahwa perceraian menjadi salah satu penyebab
kekacauan keluarga.
- Efek Modernisasi Terhadap Pola
Hidup Manusia
Modernisasi yang
memicu bertumbuhnya sektor perekonomian di suatu daerah atau negara berakibat
pada banyaknya lowongan pekerjaan di suatu daerah. Kita contohkan Jakarta
sebagai pusat perekonomian Indonesia. Cepatnya cash-flow di Jakarta sangat menggiurkan bagi kaum pinggiran/ desa
untuk urbanisasi ke Jakarta. Dengan banyaknya pendatang dari daerah dan menetap
di Jakarta menyebabkan daya tampung kota yang tak seimbang dengan penduduk yang
tinggal di dalamnya. Data kepadatan penduduk Jakarta pada tahun 1977 dari Rusli
(1983:16) menyebutkan angka 5.061.069
dan pada 2011 menjadi penduduk dari propinsi yang luasnya hanya 661,52 Km2
itu. Efek modernisasi inilah yang mendorong kaum marjinal di daerah
berurbanisasi ke daerah yang memiliki arus perekonomian tinggi. Contoh lain
pusat ekonomi di Jawa adalah Surabaya sebagai kota terbesar kedua di pulau ini
dan Bandung yang menempati tempat ketiga. Dengan ketimpangan spatial di Jakarta
menyebabkan naiknya tingkat stres dari berbagai hal, mulai dari lingkungan
pekerjaan, lingkungan pendidikan, lingkungan keluarga dan lingkungan sosial itu
sendiri. Dari lingkungan keluarga inilah gesekan-gesekan kecil dapat menyebar
ke lingkungan lainnya, karena dari lingkungan inilah dasar pemikiran-pemikiran
ditanamkan dan ditiru oleh seorang anak untuk digunakannya sepanjang hayat.
Gejala-gejala
erosi kultural oleh modernisasi dari Marzali (2005:200) seiring meningkatnya kondisi ekonomi Indonesia, sebagian penduduk kota
mampu membeli barang-barang yang sebelumnya ini hanya menjadi idam-idaman saja.
Gejala over consumptive atau biasa
disebut materialistis ini merupakan gejala anti penghematan, pembelian barang-barang
kebutuhan tersier yang berlebihan tanpa memikirkan cash-flow dirinya. Selain kebutuhuan
tersier, gejala inipun merambah ke kebutuhan primer dari manusia. Seperti
merebaknya restoran-restoran fastfood asal
Amerika yang mulai membuka cabangnya di kota-kota besar di Indonesia. Senada
dengan fastfood asal Amerika, fastfood ala Jepang pun mulai merambah
pasar makanan cepat saji Indonesia. Masyarakat kita lebih ingin makan makanan
di pusat perbelanjaan daripada di pinggiran jalan dikarenakan memiliki prestise
yang lebih tinggi.
Menurut Marzali (2005:201-202) perilaku over
consumptive ini merupakan pola perilaku masyarakat dalam transisi antara
masyarakat petani pedesaan dan masyarakat industri perkotaan. Bahwa orang
Indonesia pada umunya memberikan tempat yang lebih tinggi pada
kebutuhan-kebutuhan sosial dan keagamaan daripada kebutuhan ekonomis.
Gejala perilaku
sosial yang semakin sadistis dan agresif. Semakin maraknya pemerkosaan, tawuran
antar pelajar, perampokan, perkelahian antar warga, dan kriminalitas lainnya
yang terjadi di daerah perkotaan. Tingkat stres yang semakin tinggi ini menjadi
salah satu faktor adanya tindak kriminalitas yang tinggi pula. Tingkat stres
tinggi ini merupakan salah satu ciri perkotaan yang kurang dari ruang terbuka
hijau bagi masyarakatnya.
Gejala yang
ketiga adalah hipokritik. Penggunaan euphemisme
atau pernyataan-pernyataan normatif, atau mengeluarkan pernyataan yang
abstrak dan dapat ditefsirkan kemana-mana agar terlihat baik dimata umum. Memang
sudah umum jika para petinggi, seleb, dan orang-orang yang sering “masuk tv”
ini melakukannya. Mengaku tidak bersalah diawal, tapi ditangkap penegak hukum
diakhir. Ini adalah contoh tata krama tradisional tentang “tidak enak dengan
orang” dan dijadikan tameng serta diperbaharui isi dan tampilannya. Masyarakat
Indonesia memang sudah tergolong masyarakat industri perkotaan, namun
kultur-kultur dari masyarakat ini belum dicapai sepenuhnya oleh masyarakat
Indonesia seperti kultur lugas, rasional, kritis, jujur, terus terang, dan
jelas. Kemudian sikap hidup individualistik yang mulai merambah masyarakat kita
saat ini yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya tradisional pedesaan. Tapi
untuk dikatakan sebagai masyarakat individualistik, masyarakat Indonesia masih
memegang erat tali silaturahmi baik antar tetangga, keluarga maupun teman.
Gejala yang
terakhir adalah hedonistik. Norma-norma untuk menahan diri dari nafsu-nafsu
badaniah (seks, makan berlebihan, mabuk-mabukan, dan narkotika), bergeser ke
arah sebaliknya. Budaya dari barat inilah yang sering menjadi kambing hitam
dari perilaku hedonistik. Difusi hedonistik dari barat ini disebar melalui
film-film barat yang beredar di Indonesia. Namun itu hanya faktor sekundernya,
yang menjadi faktor primernya adalah modernisasi yang tidak berdasarkan
nilai-nilai luhur bangsa kita sendiri.
Ciri-ciri
perkotaan seperti rumah yang dibangun secara horizontal juga sudah ditemui
dalam studi kasus oleh Waluyo dan Purna (1989) di Surabaya. Di sini sistem
ketetanggaan juga sudah berubah dari tradisional ke arah modern. Mulai dari
sistem kekerabatan berdasarkan tempat tinggal yang sama di suatu wilayah dan
rasa saling memiliki dan memajukan tempat mereka tinggali agar lebih layak lagi
untuk dirinya.
- Naiknya angka perceraian di
masa modern
Proses
perceraian selalu ada dan berlangsung hingga saat ini pada setiap lapisan
masyarakat dan meningkat secara kuantitatif dari waktu ke waktu.
...Boleh dikatakan setengah abad lalu, hampir setiap
orang yang bercerai kehilangan kehormatannya di dalam lingkungan sosialnya, itu
pun kalau dia tidak dikucilkan sama sekali. Penggantian yang tersedia bagi
mereka yang bercerai juga telah berubah. Karena banyak orang bercerai, banyak
kemungkinan untuk memperoleh pasangan yang baru. Antara 85 sampai 90 persen
dari mereka yang bercerai antara unur 20 – 40 tahun banyak kemungkinan kawin
lagi.... (Goode 2007:190).
Dalam hal ini Goode (Fachrina 2011:39(2007)
menyatakan bahwa perubahan pada tingkat perceraian merupakan indikasi
terjadinya perubahan-perubahan lainnya di dalam masyarakat. Beberapa orang ahli
lainnya seperti O’niel (1967), Scanzoni & Scanzoni (1981) seperti yang
dikutip Goode, mengidentifikasi perubahan-perubahan dalam struktur sosial yang
mempengaruhi sistem keluarga sekaligus tingkat perceraian yaitu; (1) Berkaitan
dengan perubahan pada nilai dan norma tentang perceraian...., (2) Perubahan
pada tekanan-tekanan sosial dari lingkungan keluarga/ kerabat, teman dan
ketetanggaan terhadap ketahanan sebuah perkawinan, (3) Peralihan fungsi-fungsi
keluarga kepada lembaga lainnya di luar keluarga memberikan alternatif baru
yang semakin mengurangi saling ketergantungan suami istri tersebut, (4) Adanya
etos kesamaan derajat/ hak antara laki-laki dan perempuan.
Data dari BPS Padang (Fachrina 2011:40(2002) pada
tahun 2000 dibandingkan dengan jumlah perceraian talak yang hanya 254 maka
jumlah cerai gugat di Sumatera Barat hampir dua kali lipatnya yaitu sekitar
455, begitu juga dengan tahun 2001 tercatat cerai gugat lebih tinggi dari cerai
talak.
Dengan naiknya
grafik perceriaian di Sumatera Barat tadi, dapat disimpulkan bahwa dengan
semakin modernnya kehidupan bermasyarakat dan kompleks memiliki dampak kepada
lingkungan kekeluargaan.
Dari jurnal yang
saya baca, bahwa terjadinya pergeseran nilai perceraian oleh modernisasi yang
melanda indonesia. Bahwa 9,3% responden berpendapat bahwa itu adalah hal yang
lumrah terjadi pada seluruh pasangan. Bisa dilihat bahwa ikatan pernikahan
sekarang sudah bergeser dari hal yang dianggap sakral oleh masyarakat
tradisional menjadi sesuatu yang biasa saja di kalangan masyarakat modern/
kota.
Ini adalah data penyebab-penyebab perceraian di Jawa
Barat di bulan Februari 2014 (PTA Bandung 2014).
- Hukum perkawinan di Indonesia
Perceraian
sebenarnya dalam pasal 199 UU Perkawinan adalah salah satu sebab dari bubarnya
perkawinan. Dasar dari perceraian ditentukan yaitu apa yang tersebut dalam
pasal 209 ; (1) Zinah, (2) Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja,
(3) Penghukuman dengan hukuman 5 tahun penjara 5 tahun lamanya atau lebih yang
dijatuhkan setelah perkawinan, (4) Melukai berat atau menganiaya yang
membahayakan jiwa. Sebelum memberi keterangan lebih lanjut mengenai dasar-dasar
yang harus dikemukakan untuk dapat bercerai, lebih dahulu pasal 208 menentukan
sebagai prinsip, bahwa perceraian tidak dapat diadakan berdasarkan dengan suatu
persetujuan antara suami istri.
Menurut Afandi
(2000:132) akibat perceraian itu ada dua
macam, yaitu ;(1) akibat bagi istri dan harta kekayaannya, (2) akibat bagi
anak-anak yang belum dewasa. Ini bagi sang istri berarti statusnya berubah
menjadi perempuan yang sudah tidak memiliki status pernikahan (janda) dan
pembagian harta kekayaan bersama. Yaitu harta yang didapat setelah keduanya
menikah, namun jika seluruh harta menjadi milik bersama harus ada penilikan
lebih lanjut. Jika sudah ada perjanjian sebelum menikah bahwa harta yang dibawa
masing-masing tidak dicampur menjadi satu maka harta itu bukan menjadi harta
gono-gini.
Hukum warisan
dan harta benda dalam perkawinan di Indonesia di jelaskan dalam undang-undang perkawinan pasal 35 ayat
1 yaitu bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama. Pasal 35 ayat 2 bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan istri
dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau waris adalah
di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan yang
lain. Pasal 36 ayat 1 bahwa mengenai harta bersama, suami atau istri dapat
bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Pasal 36 ayat 2 bahwa mengenai
harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 37 bahwa bila
perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukum
masing-masing.
Kemudian masalah
pengasuhan anak dari perceraian tadi. Dalam Islam ada hukum hadhanah yang
berarti pengasuhan anak kecil dan membiayainya hingga usia dewasa. Dari
El-jazairi (1991:234) bahwa kedua orang tuanya lah yang paling diwajibkan untuk
mengasuhnya, sedangkan jika terjadi perceraian anak itu lebih berhak diberikan
kepada ibunya. Jika kedua orang tuanya meninggal maka neneknya lah yang
mempunyai hak mengasuh, sedangkan jika sang nenek juga sudah tidak ada maka
kakak ibu perempuan yang mempunyai hak asuh atas anak tersebut.
Kemudian masa
iddah yang berlaku kepada seorang istri yang dicerai. Masa iddah seorang istri
ini tergantung dengan cara dicerainya seorang istri tersebut, yaitu dicerai
mati, belum dicampuri, sudah dicampuri tetapi sedang hamil, sudah dicampuri
tetapi tidak sedang hamil dan haid, terakhir sudah dicampuri tetapi sedang haid
dan tidak sedang hamil.
- Dampak-dampak yang disebabkan
oleh perceraian
Yang pertama dan
paling disoroti adalah persepsi masyarakat terhadap perceraian itu sendiri.
Menurut penelitian dari Fachrina (2011:44) lebih
dari separuh responden yaitu 73,3% menyatakan ketidaksetujuan terhadap
perceraian dan hanya 25,3% yang mengatakan setuju. Berikut rinciannya.
No.
|
Keterangan
|
Frekuensi
|
%
|
1
|
Tabu, tidak boleh
dilakukan, apapun alasannya
|
3
|
4
|
2
|
Sedapat mungkin
dihindarkan karena memalukan
|
60
|
80
|
3
|
Boleh saja dilakukan
kalau istri/ suami menginginkan
|
4
|
5,3
|
4
|
Sesuatu hal yang
biasa terjadi dalam kehidupan
|
7
|
9,3
|
5
|
Lainnya
|
1
|
1,3
|
Sebagai masyarakat yang mayoritas memeluk agama
Islam, mungkin dapat dikatakan bahwa para responden mendasari pandangan
terhadap perceraian melalui pemahaman tentang ajaran dari agama Islam itu
sendiri.
Selain dari sisi
kemasyarakatan, yaitu sisi psikologi dari suami istri yang bercerai tadi. Mereka
akan menyesuaikan diri dengan status mereka yang baru, baik sebagai janda
ataupun duda. Menurut Schneiders (dalam Ghufron & Risnawita
2010:52-53(1964) ...macam-macam
penyesuaian diri terdiri dari (1) penyesuaian diri personal; (2) penyesuaian
diri sosial; (3) penyesuaian diri martial atau perkawinan; (4) penyesuaian diri
vokasional. Akan dijelaskan sebagai berikut :
a. Penyesuaian
diri personal
Penyesuaian diri personal adalah penyesuaian diri
yang diarahkan kepada diri sendiri. Penyesuaian diri personal meliputi.
1. Penyesuaian
diri fisik dan emosi
Penyesuaian diri ini melibatkan respons-respons
fisik dan emosional sehingga dalam penyesuaian diri fisik ini kesehatan fisik
merupakan pokok untuk pencapaian penyesuaian diri yang sehat. Berkaitan dengan
hal ini, ada hal penting berupa edukasi emosi, kematangan emosi, dan kontrol
emosi.
2. Penyesuaian
diri seksual
Penyesuaian diri seksual merupakan kapasitas
bereaksi terhadap realitas seksual (impuls-impuls, nafsu, pikiran,
konflik-konflik, frustasi, perasaan salah, dan perbedaan seks).
3. Penyesuaian
diri moral dan religius....
b. Penyesuaian
diri sosial
Menurut Schneiders (1964), rumah, sekolah, dan
masyarakat merupakan aspek khusus dari kelompok sosial dan melibatkan pola-pola
hubungan di antara kelompok tersebut dan saling berhubungan secara integral di
antara ketiganya. Penyesuaian diri ini meliputi, (1) penyesusaian diri terhadap
rumah dan keluarga;(2) penyesuaian diri terhadap sekolah;(3) penyesuaian diri
terhadap masyarakat.
c. Penyesuaian
diri marital atau perkawinan
Penyesuaian diri ini pada dasarnya adalah seni
kehidupan yang efektif dan bermanfaat dalam kerangka tanggung jawab. Hubungan
dan harapan yang terdapat dalam kerangka perkawinan.
d. Penyesuaian
diri jabatan dan vokasional
Menurut Schneiders (1964) penyesuaian diri ini
berhubungan erat dengan penyesuaian diri akademis.
Dari teori-teori
yang disampaikan oleh Schneiders bahwa memang setiap manusia di dunia ini
membutuhkan penyesuaian dari tempat yang lama ke tempat yang baru. Tapi
penyesuaian ini juga memiliki faktor-faktor pendukung seperti lingkungan,
masyarakat dan lain-lain. Kebanyakan masyarakat sedikit tabu mengatakan kata
janda dimuka umum, karena mereka masih memiliki asas merasa tidak enak kepada
orang lain. Memang banyak faktor yang bisa membuat status janda atau duda
menjadi tabu tergantung dari diri pelaku perceraian tadi.
Kemudian
perceraian ini berakibat buruk dari berbagai sudut kepada sang anak yang orang
tuanya bercerai. Psikologi anak yang terganggu karena merasa diacuhkan dengan
adanya perceraian tadi. Apalagi drama hak asuh anak yang sering terdengar semakin
miris saja. Lebih muda seorang anak akan berakibat lebih besar terhadap
psikologinya saat dia beranjak dewasa. Dia akan mulai mencari rumah kedua
dilingkungannya berinteraksi baik dengan masyarakat maupun dengan teman
sebayanya. Akibat dari broken home
tersebut sang anak dapat melakukan kenakalan-kenakalan kecil dan besar.
....Kenakalan remaja berkaitan erat pula dengan
sikap anti sosial (sosiopatis) di kalangan remaja ditunjukkan dengan rendahnya
rasa bersalah, kekhawatiran, danseringkali melawan hak orang lain. Hal ini
seringkali menyebabkan mereka tidak mampu menjalin hubungan baik dengan orang
lain. Memang pada awalnya anak-anak masih mendapat pengaruh yang besar dari
orang tuanya. Tetapi seiring beranjaknya usia anak ini mendapat pengaruh yang
lebih besar dari lingkungannya. Pada awal masa remaja mereka mulai memiliki dukungan
emosional dari teman sebaya, saling berbagi rasa, bertukar aktivitas, dan
kepentingan hingga pada perkembangan berikutnya proses relasi di dalam kelompok
pertemanan berakibat pada adanya sosialisasi nilai di antara
mereka....kebutuhan remaja untuk terlibat dalam kelompok sebaya ini akan
beresiko jika remaja mengidentifikasi nilai-nilai kelompok yang bersifat
antisosial atau destruktif.
Contohnya di Bandung adalah banyaknya geng
motor yang terbentuk dan kebanyakan anggotanya adalah anak sekolah mulai SMP –
SMA yang rata-rata adalah produk dari broken
home. Banyaknya mural/ gravity sebagai bentuk kreativitas mereka yang tidak
tertampung oleh masyarakat baik di keluarga maupun sekolah. Kemudian para
korban pelecehan seksual (paedofilia) di Sukabumi yang menyayangkan penangkapan
seorang emon karena dianggap sebagai satu-satunya orang yang memberi perhatian
lebih pada dirinya, ini merupakan salah satu bentuk broken home tadi.
Contoh lainnya
adalah kehilangannya seorang anak terhadap sosok panutan maupun dari sisi ayah
atau ibu dalam dirinya. Merupakan kehilangan yang besar bagi seorang anak jika
sosok panutan yang dia ikuti tiba-tiba menghilang dari kehidupan sosialnya,
apalagi anak korban perceraian ini masih di bawah umur. Masalah ini juga yang
mendasari kegiatan “kriminil” yang sudah dijelaskan di atas. Memang psikologi pada
umur ini sedikit banyak mempengaruhi tumbuh kembang anak ke depannya.
- Solusi efek modernisasi dan
perceraian
Pertama, efek
modernisasi ini sebenarnya bisa kita redam dengan penanaman asas-asas pancasila
sedari dini kepada anak-anak, filterisasi semua budaya-budaya yang masuk ke
Indonesia , peningkatan kesejahteraan para pelaku seni agar termotivasi untuk
membuat karya yang menginspirasi bangsa Indonesia dari sisi budaya khususnya.
Dan tentunya peran pemerintah serta masyarakat yang terintegrasi untuk bersama
membenahinya.
Kedua, pada
perilaku perceraian serta nilai-nilai perkawinan yang telah terdegradasi oleh modernisasi
ini lebih kepada cara berpikir maju tetapi tidak meninggalkan nilai-nilai local wisdom yang positif dan
konservatif kepada segala hal-hal yang dianggap baik oleh agama masing-masing.
Daftar Pustaka
Rusli, Said.
1983. Kepadatan Penduduk Dan Peledakannya. Jakarta: PN Balai Pustaka
Goode, William J.
2007. Sosiologi Keluarga.Jakarta: Bumi Aksara
Marzali, Amri.
2005. Antropologi Dan Pembangunan Indonesia. Jakarta: Prenada Media
Afandi, Ali.
2000. Hukum Waris, Hukum Keluarga Dan Hukum Pembuktian. Jakarta: Rineka Cipta
Soekito, Sri
Widoyati Wiratmo. 1989. Anak Dan Wanita Dalam Hukum. Jakarta: LP3ES
Ghufron, M. Nur Dan
Risnawita S., Rini. 2010. Teori-Teori Psikologi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
El-Jazairi, Abu
Bakar Jabir. 1991. Pola Hidup Muslim : Mu'amalah. Bandung: Remaja Rosdakarya
Praja, Juhaya S.,
1994. Hukum Islam Di Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya
Syarifudin, Amir.
2009. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat Dan
Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana
Undang-Undang Perkawinan
Indonesia
Hanurawan, Fattah.
2010. Psikologi Sosial. Bandung: Remaja Rosdakarya
----Jurnal----
Fachrina, Aziwarti.
2011. Jurnal Sosiologi Andalas : Perubahan Nilai Perceraian Pada Masyarakat
Minagkabau. Padang: Laboratorium Sosiologi Fisip Universitas Andalas
Waluyo, Harry Dan
Purna, I Made. 1989. Pola Hubungan Ketetanggaan Pada Masyarakat Kota (Studi
Kasus Di Rumah Susun Menanggal, Surabaya). Jakarta: Depdikbud
Raharjo, Santoso
Tri Dkk. 2012. Faktor Keluarga Dalam Kenakalan Remaja : Studi Deskriptif
Mengenai Geng Motor Di Kota Bandung. Sumedang: Sosiohumaniora Unpad