Sabtu, 10 Januari 2015

Efek Modernisasi Terhadap Perceraian dan Dampak-Dampak yang Akan Muncul


Modernisasi atau westernisasi adalah upaya-upaya untuk menggantikan barang, budaya, dan sesuatu yang tradisional agar menjadi lebih baik (efisien dan efektif). Modernisasi erat kaitannya dengan pembangunan. Dari Marzali (2005:47) ....ada sebuah teori moderinsasi yaitu sebuah usaha pembangunan institusional (perekayasaan struktur sosial melalui pembentukan institusi-institusi baru) dan pembangunan mentalitas manusia (perekayasaan kultura).... Bahasan pembangunan di Indonesia berdampak pada masyarakat Indonesia itu sendiri. Menurut Mochtar Lubis manusia Indonesia memiliki enam ciri-ciri yaitu, pertama mereka hipokritis atau munafik; kedua segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikirannya, dan sebagainya; ketiga jiwa feodalisme, yang terwujud dalam perilaku feodalisme; keempat percaya pada takhayul; kelima artisitik; dan keenam watak yang lemah. Dari keenam ciri-ciri yang disebutkan oleh Mochtar Lubis tadi, terlihat rata-rata manusia Indonesia belum siap menghadapi modernisasi itu sendiri. Dikarenakan arus modernisasi yang menuntut kecepatan bertindak, watak yang kuat dan daya tahan tinggi terhadap pekerjaan yang digelutinya.
Perceraian adalah suatu pemutusan hubungan perkawinan antara dua orang suami-istri baik secara hukum maupun agama.
....Menurut William J. Goode (2007:184) kekacauan keluarga dapat diartikan sebagai “pecahnya suatu unit keluarga, terputusnya atau retaknya struktur peran sosial jika satu atau beberapa anggota gagal menjalanka peran mereka secukupnya.” Menurut definisi ini (Goode, 1961:370) maka macam utama kekacauan keluarga adalah sebagai berikut :
a.      Ketidaksahan. Ini merupakan unit keluarga yang tak lengkap. Dapat dianggap sama dengan bentuk-bentuk kegagalan peran lainnya dalam keluarga, karena sang “ayah-suami” tidak ada dan karenanya tidak menjalankan tugasnya seperti apa yang ditentukan oleh masyarakat atau oleh sang ibu. Tambahan pula, setidak-tidaknya ada satu sumber ketidaksahan dalam kegagalan anggota-anggota keluarga baik ibu maupun bapak untuk menjalankan kewajiban peranannya.
b.      Pembatalan, perpisahan, perceraian, dan meninggalkan. Terputusnya keluarga di sini disebabkan karena salah satu atau kedua pasangan itu memutuskan untuk saling meninggalkan, dan dengan demikian berhenti melaksanakan kewajiban peranannya.
c.       “Keluarga selaput kosong“. Di sini anggota-anggota keluarga tetap tinggal bersama tetapi tidak saling menyapa atau bekerjasama satu dengan yang lain dan terutama gagal memberikan dukungan emosional satu kepada yang lain.
d.      Ketiadaan seorang dari pasangan karena hal yang tidak diinginkan. Beberapa keluarga terpecah karena sang suami atau istri telah meninggal, dipenjarakan, atau terpisah dari keluarga karena peperangan, depresi atau malapetaka yang lain.
e.       Kegagalan peran penting yang “tak diinginkan”. Malapetaka dalam keluarga mungkin mencakup penyakit mental, emosional, atau badaniah yang parah. Seorang anak mungkin terbelakang mentalnya atau seorang anak atau seorang suami atau seorang istri mungkin menderita penyakit jiwa. Penyakit yang parah dan terus menerus juga menyebabkan kegagalan dalam menjalanka peran utama. ....
Perceraian masuk menjadi salah satu dari yang dijabarkan oleh William J. Goode tadi. Dan secara awam kita bisa menyimpulkan bahwa perceraian menjadi salah satu penyebab kekacauan keluarga.

  1. Efek Modernisasi Terhadap Pola Hidup Manusia
Modernisasi yang memicu bertumbuhnya sektor perekonomian di suatu daerah atau negara berakibat pada banyaknya lowongan pekerjaan di suatu daerah. Kita contohkan Jakarta sebagai pusat perekonomian Indonesia. Cepatnya cash-flow di Jakarta sangat menggiurkan bagi kaum pinggiran/ desa untuk urbanisasi ke Jakarta. Dengan banyaknya pendatang dari daerah dan menetap di Jakarta menyebabkan daya tampung kota yang tak seimbang dengan penduduk yang tinggal di dalamnya. Data kepadatan penduduk Jakarta pada tahun 1977 dari Rusli (1983:16) menyebutkan angka 5.061.069 dan pada 2011 menjadi penduduk dari propinsi yang luasnya hanya 661,52 Km2 itu. Efek modernisasi inilah yang mendorong kaum marjinal di daerah berurbanisasi ke daerah yang memiliki arus perekonomian tinggi. Contoh lain pusat ekonomi di Jawa adalah Surabaya sebagai kota terbesar kedua di pulau ini dan Bandung yang menempati tempat ketiga. Dengan ketimpangan spatial di Jakarta menyebabkan naiknya tingkat stres dari berbagai hal, mulai dari lingkungan pekerjaan, lingkungan pendidikan, lingkungan keluarga dan lingkungan sosial itu sendiri. Dari lingkungan keluarga inilah gesekan-gesekan kecil dapat menyebar ke lingkungan lainnya, karena dari lingkungan inilah dasar pemikiran-pemikiran ditanamkan dan ditiru oleh seorang anak untuk digunakannya sepanjang hayat.
Gejala-gejala erosi kultural oleh modernisasi dari Marzali (2005:200) seiring meningkatnya kondisi ekonomi Indonesia, sebagian penduduk kota mampu membeli barang-barang yang sebelumnya ini hanya menjadi idam-idaman saja. Gejala over consumptive atau biasa disebut materialistis ini merupakan gejala anti penghematan, pembelian barang-barang kebutuhan tersier yang berlebihan tanpa memikirkan cash-flow dirinya. Selain  kebutuhuan tersier, gejala inipun merambah ke kebutuhan primer dari manusia. Seperti merebaknya restoran-restoran fastfood asal Amerika yang mulai membuka cabangnya di kota-kota besar di Indonesia. Senada dengan fastfood asal Amerika, fastfood ala Jepang pun mulai merambah pasar makanan cepat saji Indonesia. Masyarakat kita lebih ingin makan makanan di pusat perbelanjaan daripada di pinggiran jalan dikarenakan memiliki prestise yang lebih tinggi.
Menurut Marzali (2005:201-202) perilaku over consumptive ini merupakan pola perilaku masyarakat dalam transisi antara masyarakat petani pedesaan dan masyarakat industri perkotaan. Bahwa orang Indonesia pada umunya memberikan tempat yang lebih tinggi pada kebutuhan-kebutuhan sosial dan keagamaan daripada kebutuhan ekonomis.
Gejala perilaku sosial yang semakin sadistis dan agresif. Semakin maraknya pemerkosaan, tawuran antar pelajar, perampokan, perkelahian antar warga, dan kriminalitas lainnya yang terjadi di daerah perkotaan. Tingkat stres yang semakin tinggi ini menjadi salah satu faktor adanya tindak kriminalitas yang tinggi pula. Tingkat stres tinggi ini merupakan salah satu ciri perkotaan yang kurang dari ruang terbuka hijau bagi masyarakatnya.

Gejala yang ketiga adalah hipokritik. Penggunaan euphemisme atau pernyataan-pernyataan normatif, atau mengeluarkan pernyataan yang abstrak dan dapat ditefsirkan kemana-mana agar terlihat baik dimata umum. Memang sudah umum jika para petinggi, seleb, dan orang-orang yang sering “masuk tv” ini melakukannya. Mengaku tidak bersalah diawal, tapi ditangkap penegak hukum diakhir. Ini adalah contoh tata krama tradisional tentang “tidak enak dengan orang” dan dijadikan tameng serta diperbaharui isi dan tampilannya. Masyarakat Indonesia memang sudah tergolong masyarakat industri perkotaan, namun kultur-kultur dari masyarakat ini belum dicapai sepenuhnya oleh masyarakat Indonesia seperti kultur lugas, rasional, kritis, jujur, terus terang, dan jelas. Kemudian sikap hidup individualistik yang mulai merambah masyarakat kita saat ini yang bertentangan dengan nilai-nilai budaya tradisional pedesaan. Tapi untuk dikatakan sebagai masyarakat individualistik, masyarakat Indonesia masih memegang erat tali silaturahmi baik antar tetangga, keluarga maupun teman.
Gejala yang terakhir adalah hedonistik. Norma-norma untuk menahan diri dari nafsu-nafsu badaniah (seks, makan berlebihan, mabuk-mabukan, dan narkotika), bergeser ke arah sebaliknya. Budaya dari barat inilah yang sering menjadi kambing hitam dari perilaku hedonistik. Difusi hedonistik dari barat ini disebar melalui film-film barat yang beredar di Indonesia. Namun itu hanya faktor sekundernya, yang menjadi faktor primernya adalah modernisasi yang tidak berdasarkan nilai-nilai luhur bangsa kita sendiri.
Ciri-ciri perkotaan seperti rumah yang dibangun secara horizontal juga sudah ditemui dalam studi kasus oleh Waluyo dan Purna (1989) di Surabaya. Di sini sistem ketetanggaan juga sudah berubah dari tradisional ke arah modern. Mulai dari sistem kekerabatan berdasarkan tempat tinggal yang sama di suatu wilayah dan rasa saling memiliki dan memajukan tempat mereka tinggali agar lebih layak lagi untuk dirinya.

  1. Naiknya angka perceraian di masa modern
Proses perceraian selalu ada dan berlangsung hingga saat ini pada setiap lapisan masyarakat dan meningkat secara kuantitatif dari waktu ke waktu.
...Boleh dikatakan setengah abad lalu, hampir setiap orang yang bercerai kehilangan kehormatannya di dalam lingkungan sosialnya, itu pun kalau dia tidak dikucilkan sama sekali. Penggantian yang tersedia bagi mereka yang bercerai juga telah berubah. Karena banyak orang bercerai, banyak kemungkinan untuk memperoleh pasangan yang baru. Antara 85 sampai 90 persen dari mereka yang bercerai antara unur 20 – 40 tahun banyak kemungkinan kawin lagi.... (Goode 2007:190).
Dalam hal ini Goode (Fachrina 2011:39(2007) menyatakan bahwa perubahan pada tingkat perceraian merupakan indikasi terjadinya perubahan-perubahan lainnya di dalam masyarakat. Beberapa orang ahli lainnya seperti O’niel (1967), Scanzoni & Scanzoni (1981) seperti yang dikutip Goode, mengidentifikasi perubahan-perubahan dalam struktur sosial yang mempengaruhi sistem keluarga sekaligus tingkat perceraian yaitu; (1) Berkaitan dengan perubahan pada nilai dan norma tentang perceraian...., (2) Perubahan pada tekanan-tekanan sosial dari lingkungan keluarga/ kerabat, teman dan ketetanggaan terhadap ketahanan sebuah perkawinan, (3) Peralihan fungsi-fungsi keluarga kepada lembaga lainnya di luar keluarga memberikan alternatif baru yang semakin mengurangi saling ketergantungan suami istri tersebut, (4) Adanya etos kesamaan derajat/ hak antara laki-laki dan perempuan.
Data dari BPS Padang (Fachrina 2011:40(2002) pada tahun 2000 dibandingkan dengan jumlah perceraian talak yang hanya 254 maka jumlah cerai gugat di Sumatera Barat hampir dua kali lipatnya yaitu sekitar 455, begitu juga dengan tahun 2001 tercatat cerai gugat lebih tinggi dari cerai talak.
Dengan naiknya grafik perceriaian di Sumatera Barat tadi, dapat disimpulkan bahwa dengan semakin modernnya kehidupan bermasyarakat dan kompleks memiliki dampak kepada lingkungan kekeluargaan.
Dari jurnal yang saya baca, bahwa terjadinya pergeseran nilai perceraian oleh modernisasi yang melanda indonesia. Bahwa 9,3% responden berpendapat bahwa itu adalah hal yang lumrah terjadi pada seluruh pasangan. Bisa dilihat bahwa ikatan pernikahan sekarang sudah bergeser dari hal yang dianggap sakral oleh masyarakat tradisional menjadi sesuatu yang biasa saja di kalangan masyarakat modern/ kota.
Ini adalah data penyebab-penyebab perceraian di Jawa Barat di bulan Februari 2014 (PTA Bandung 2014).

  1. Hukum perkawinan di Indonesia
Perceraian sebenarnya dalam pasal 199 UU Perkawinan adalah salah satu sebab dari bubarnya perkawinan. Dasar dari perceraian ditentukan yaitu apa yang tersebut dalam pasal 209 ; (1) Zinah, (2) Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja, (3) Penghukuman dengan hukuman 5 tahun penjara 5 tahun lamanya atau lebih yang dijatuhkan setelah perkawinan, (4) Melukai berat atau menganiaya yang membahayakan jiwa. Sebelum memberi keterangan lebih lanjut mengenai dasar-dasar yang harus dikemukakan untuk dapat bercerai, lebih dahulu pasal 208 menentukan sebagai prinsip, bahwa perceraian tidak dapat diadakan berdasarkan dengan suatu persetujuan antara suami istri.
Menurut Afandi (2000:132) akibat perceraian itu ada dua macam, yaitu ;(1) akibat bagi istri dan harta kekayaannya, (2) akibat bagi anak-anak yang belum dewasa. Ini bagi sang istri berarti statusnya berubah menjadi perempuan yang sudah tidak memiliki status pernikahan (janda) dan pembagian harta kekayaan bersama. Yaitu harta yang didapat setelah keduanya menikah, namun jika seluruh harta menjadi milik bersama harus ada penilikan lebih lanjut. Jika sudah ada perjanjian sebelum menikah bahwa harta yang dibawa masing-masing tidak dicampur menjadi satu maka harta itu bukan menjadi harta gono-gini.
Hukum warisan dan harta benda dalam perkawinan di Indonesia di jelaskan  dalam undang-undang perkawinan pasal 35 ayat 1 yaitu bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Pasal 35 ayat 2 bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau waris adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan yang lain. Pasal 36 ayat 1 bahwa mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Pasal 36 ayat 2 bahwa mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 37 bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukum masing-masing.
Kemudian masalah pengasuhan anak dari perceraian tadi. Dalam Islam ada hukum hadhanah yang berarti pengasuhan anak kecil dan membiayainya hingga usia dewasa. Dari El-jazairi (1991:234) bahwa kedua orang tuanya lah yang paling diwajibkan untuk mengasuhnya, sedangkan jika terjadi perceraian anak itu lebih berhak diberikan kepada ibunya. Jika kedua orang tuanya meninggal maka neneknya lah yang mempunyai hak mengasuh, sedangkan jika sang nenek juga sudah tidak ada maka kakak ibu perempuan yang mempunyai hak asuh atas anak tersebut.
Kemudian masa iddah yang berlaku kepada seorang istri yang dicerai. Masa iddah seorang istri ini tergantung dengan cara dicerainya seorang istri tersebut, yaitu dicerai mati, belum dicampuri, sudah dicampuri tetapi sedang hamil, sudah dicampuri tetapi tidak sedang hamil dan haid, terakhir sudah dicampuri tetapi sedang haid dan tidak sedang hamil.



  1. Dampak-dampak yang disebabkan oleh perceraian
Yang pertama dan paling disoroti adalah persepsi masyarakat terhadap perceraian itu sendiri.
Menurut penelitian dari Fachrina (2011:44) lebih dari separuh responden yaitu 73,3% menyatakan ketidaksetujuan terhadap perceraian dan hanya 25,3% yang mengatakan setuju. Berikut rinciannya.
No.
Keterangan
Frekuensi
%
1
Tabu, tidak boleh dilakukan, apapun alasannya
3
4
2
Sedapat mungkin dihindarkan karena memalukan
60
80
3
Boleh saja dilakukan kalau istri/ suami menginginkan
4
5,3
4
Sesuatu hal yang biasa terjadi dalam kehidupan
7
9,3
5
Lainnya
1
1,3
Sebagai masyarakat yang mayoritas memeluk agama Islam, mungkin dapat dikatakan bahwa para responden mendasari pandangan terhadap perceraian melalui pemahaman tentang ajaran dari agama Islam itu sendiri.

Selain dari sisi kemasyarakatan, yaitu sisi psikologi dari suami istri yang bercerai tadi. Mereka akan menyesuaikan diri dengan status mereka yang baru, baik sebagai janda ataupun duda. Menurut Schneiders (dalam Ghufron & Risnawita 2010:52-53(1964) ...macam-macam penyesuaian diri terdiri dari (1) penyesuaian diri personal; (2) penyesuaian diri sosial; (3) penyesuaian diri martial atau perkawinan; (4) penyesuaian diri vokasional. Akan dijelaskan sebagai berikut :
a.      Penyesuaian diri personal
Penyesuaian diri personal adalah penyesuaian diri yang diarahkan kepada diri sendiri. Penyesuaian diri personal meliputi.
1.      Penyesuaian diri fisik dan emosi
Penyesuaian diri ini melibatkan respons-respons fisik dan emosional sehingga dalam penyesuaian diri fisik ini kesehatan fisik merupakan pokok untuk pencapaian penyesuaian diri yang sehat. Berkaitan dengan hal ini, ada hal penting berupa edukasi emosi, kematangan emosi, dan kontrol emosi.
2.      Penyesuaian diri seksual
Penyesuaian diri seksual merupakan kapasitas bereaksi terhadap realitas seksual (impuls-impuls, nafsu, pikiran, konflik-konflik, frustasi, perasaan salah, dan perbedaan seks).
3.      Penyesuaian diri moral dan religius....
b.      Penyesuaian diri sosial
Menurut Schneiders (1964), rumah, sekolah, dan masyarakat merupakan aspek khusus dari kelompok sosial dan melibatkan pola-pola hubungan di antara kelompok tersebut dan saling berhubungan secara integral di antara ketiganya. Penyesuaian diri ini meliputi, (1) penyesusaian diri terhadap rumah dan keluarga;(2) penyesuaian diri terhadap sekolah;(3) penyesuaian diri terhadap masyarakat.
c.       Penyesuaian diri marital atau perkawinan
Penyesuaian diri ini pada dasarnya adalah seni kehidupan yang efektif dan bermanfaat dalam kerangka tanggung jawab. Hubungan dan harapan yang terdapat dalam kerangka perkawinan.
d.      Penyesuaian diri jabatan dan vokasional
Menurut Schneiders (1964) penyesuaian diri ini berhubungan erat dengan penyesuaian diri akademis.
Dari teori-teori yang disampaikan oleh Schneiders bahwa memang setiap manusia di dunia ini membutuhkan penyesuaian dari tempat yang lama ke tempat yang baru. Tapi penyesuaian ini juga memiliki faktor-faktor pendukung seperti lingkungan, masyarakat dan lain-lain. Kebanyakan masyarakat sedikit tabu mengatakan kata janda dimuka umum, karena mereka masih memiliki asas merasa tidak enak kepada orang lain. Memang banyak faktor yang bisa membuat status janda atau duda menjadi tabu tergantung dari diri pelaku perceraian tadi.
Kemudian perceraian ini berakibat buruk dari berbagai sudut kepada sang anak yang orang tuanya bercerai. Psikologi anak yang terganggu karena merasa diacuhkan dengan adanya perceraian tadi. Apalagi drama hak asuh anak yang sering terdengar semakin miris saja. Lebih muda seorang anak akan berakibat lebih besar terhadap psikologinya saat dia beranjak dewasa. Dia akan mulai mencari rumah kedua dilingkungannya berinteraksi baik dengan masyarakat maupun dengan teman sebayanya. Akibat dari broken home tersebut sang anak dapat melakukan kenakalan-kenakalan kecil dan besar.
....Kenakalan remaja berkaitan erat pula dengan sikap anti sosial (sosiopatis) di kalangan remaja ditunjukkan dengan rendahnya rasa bersalah, kekhawatiran, danseringkali melawan hak orang lain. Hal ini seringkali menyebabkan mereka tidak mampu menjalin hubungan baik dengan orang lain. Memang pada awalnya anak-anak masih mendapat pengaruh yang besar dari orang tuanya. Tetapi seiring beranjaknya usia anak ini mendapat pengaruh yang lebih besar dari lingkungannya. Pada awal masa remaja mereka mulai memiliki dukungan emosional dari teman sebaya, saling berbagi rasa, bertukar aktivitas, dan kepentingan hingga pada perkembangan berikutnya proses relasi di dalam kelompok pertemanan berakibat pada adanya sosialisasi nilai di antara mereka....kebutuhan remaja untuk terlibat dalam kelompok sebaya ini akan beresiko jika remaja mengidentifikasi nilai-nilai kelompok yang bersifat antisosial atau destruktif.
 Contohnya di Bandung adalah banyaknya geng motor yang terbentuk dan kebanyakan anggotanya adalah anak sekolah mulai SMP – SMA yang rata-rata adalah produk dari broken home. Banyaknya mural/ gravity sebagai bentuk kreativitas mereka yang tidak tertampung oleh masyarakat baik di keluarga maupun sekolah. Kemudian para korban pelecehan seksual (paedofilia) di Sukabumi yang menyayangkan penangkapan seorang emon karena dianggap sebagai satu-satunya orang yang memberi perhatian lebih pada dirinya, ini merupakan salah satu bentuk broken home  tadi.
Contoh lainnya adalah kehilangannya seorang anak terhadap sosok panutan maupun dari sisi ayah atau ibu dalam dirinya. Merupakan kehilangan yang besar bagi seorang anak jika sosok panutan yang dia ikuti tiba-tiba menghilang dari kehidupan sosialnya, apalagi anak korban perceraian ini masih di bawah umur. Masalah ini juga yang mendasari kegiatan “kriminil” yang sudah dijelaskan di atas. Memang psikologi pada umur ini sedikit banyak mempengaruhi tumbuh kembang anak ke depannya.
  1. Solusi efek modernisasi dan perceraian
Pertama, efek modernisasi ini sebenarnya bisa kita redam dengan penanaman asas-asas pancasila sedari dini kepada anak-anak, filterisasi semua budaya-budaya yang masuk ke Indonesia , peningkatan kesejahteraan para pelaku seni agar termotivasi untuk membuat karya yang menginspirasi bangsa Indonesia dari sisi budaya khususnya. Dan tentunya peran pemerintah serta masyarakat yang terintegrasi untuk bersama membenahinya.
Kedua, pada perilaku perceraian serta nilai-nilai perkawinan yang telah terdegradasi oleh modernisasi ini lebih kepada cara berpikir maju tetapi tidak meninggalkan nilai-nilai local wisdom yang positif dan konservatif kepada segala hal-hal yang dianggap baik oleh agama masing-masing.














Daftar Pustaka
Rusli, Said. 1983. Kepadatan Penduduk Dan Peledakannya. Jakarta: PN Balai Pustaka
Goode, William J. 2007. Sosiologi Keluarga.Jakarta: Bumi Aksara
Marzali, Amri. 2005. Antropologi Dan Pembangunan Indonesia. Jakarta: Prenada Media
Afandi, Ali. 2000. Hukum Waris, Hukum Keluarga Dan Hukum Pembuktian. Jakarta: Rineka Cipta
Soekito, Sri Widoyati Wiratmo. 1989. Anak Dan Wanita Dalam Hukum. Jakarta: LP3ES
Ghufron, M. Nur Dan Risnawita S., Rini. 2010. Teori-Teori Psikologi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
El-Jazairi, Abu Bakar Jabir. 1991. Pola Hidup Muslim : Mu'amalah. Bandung: Remaja Rosdakarya
Praja, Juhaya S., 1994. Hukum Islam Di Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya
Syarifudin, Amir. 2009. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana
Undang-Undang Perkawinan Indonesia
Hanurawan, Fattah. 2010. Psikologi Sosial. Bandung: Remaja Rosdakarya
----Jurnal----
Fachrina, Aziwarti. 2011. Jurnal Sosiologi Andalas : Perubahan Nilai Perceraian Pada Masyarakat Minagkabau. Padang: Laboratorium Sosiologi Fisip Universitas Andalas
Waluyo, Harry Dan Purna, I Made. 1989. Pola Hubungan Ketetanggaan Pada Masyarakat Kota (Studi Kasus Di Rumah Susun Menanggal, Surabaya). Jakarta: Depdikbud
Raharjo, Santoso Tri Dkk. 2012. Faktor Keluarga Dalam Kenakalan Remaja : Studi Deskriptif Mengenai Geng Motor Di Kota Bandung. Sumedang: Sosiohumaniora Unpad